Senin, 07 Desember 2015

SEBUAH BUDAYA YAN MEMBELENGGU

Manajemen konflik adalah kemampuan individu untuk mengelola konflik-konflik yang dialaminya dengan cara yang tepat, sehingga tidak menimbulkan komplikasi negatif pada kesehatan jiwanya maupun keharmonisan keluarga.

Seorang istri mengeluh bahwa dirinya merasa tidak cocok dengan suaminya justru setelah menikah selama satu tahun. Selalu saja ada hal yang menjadi vahan pertengkaran suami-istri, sampai istri tersebut timbul keinginan untuk bercerai. Konflik demi konflik selalu terjadi dalam rumah tangganya yang membuatnya stres.

Kasus tersebut merupakan suatu ilustrasi bahwa konflik selalu bisa muncul dalam rumah tangga, dan bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan gangguan psikologis baik pada pihak istri maupun suami. Sebenarnya apa yang disebut dengan konflik itu? Konflik adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan dapat menekan perasaan individu karena adanya dua hala tau obyek, kebutuhan, keinginan, kekuatan, kecenderungan ataupun tujuan yang berbeda atau bertentangan yang timbul pada saat yang sama. Untuk mengatasi konflik yang dialami, diperlukan strategi atau cara-cara tertentu.

Konflik dan jenis-jenisnya:
Ada beberapa jenis konflik yang dialami oleh individu. Jika kita meninjau dari sumber timbulnya konflik maka dapat dibedakan menjadi:
  1. Konflik yang bersumber dari diri sendiri, sering disebut dengan konflik internal. Contoh: Amir merasa bingung karena dia sudah ingin menikah tetapi dipihak lain dia belum lulus kuliah sehingga belum bisa memberi nafkah pada keluarga
  2. Konflik yang bersumber pada lingkungan. Lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan keluarga, dan lingkungan diluar keluarga ( tetangga, sekolah, teman, massa, tempat kerja, dll ). Karena pada seminar ini bertujuan pembentukan keluarga sakinah, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah konflik yang bersumber pada keluarga-keluarganya, khususnya konflik antara suami –istri

Konflik dalam keluarga

Dalam suatu keluarga biasanya terdiri dari suami, isteri, anak, namun ada juga keluarga yang belum mandiri sehingga dalam keluarga tersebut masi hada orang tua dari suami atau pihak istri.

Bisa terjadi konflik antara suami –isteri, atau orang tua dengan anak, atau mertua dengan anak-cucu.

Konflik selalu terjadi dalam keluarga dan tidak ada penyelesaiannya yang baik maka akan berdampak terhadap keharmonisan keluarga itu sendiri yang akhirnya dapat menimbulkan gangguan-gangguan psikologis pada individu-individu yang terlibat didalamnya. Gangguan psikologis yang dialami bisa timbul mulai dari yang ringan sampai yang berat.

Konflik suami-istri biasanya disebabkan oleh kurangnya rasa” saling” antara keduanya,:
  1. Kurangnya saling pengertian terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing
  2. Kurangnya saling percaya
  3. Kurangnya saling terbuka
  4. Kurang komunikasi yang efektif
Banyak pasangan suami-istri yang menjalani perkawinan lebih dari 20 tahun dan tetep harmonis mengungkapkan rahasia keharmonisan keluarganya bahwa kuncinya adalah saling percaya dan saling pengertian serta adanya komunikasi yang terbuka dan efektif. Para ahli komunikasi menyatakan bahwa komunikator yang baik adalah orang yang dapat menimbulkan rasa senang bagi orang yang diaajak berkomunikasi. Banyak Pasangan yang baru menikah pada tahun-tahun pertama mengalami apa yang disebut dengan “wedding blues” yaitu stress pasca menikah. 
Hal tersebut muncul karena biasanya masing-masing pihak kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan pasangan. “ Waktu belum jadi suami, mas Ali orangnya baik, tapi setelah jadi suami wah ternyata orangnya jorok, suka marah, seneng perintah…capek deh” demikian antara lain keluh kesah seorang isteri yang mengalami “ wedding blues”.
Bagaimana strategi mengatasi konflik yang muncul dalam keluarga?

Manajemen konflik
Strategi dalam mengelola konflik dapat dilakukan melaui beberapa tahap. Lebih baik mencegah dari pada mengalami konflik.

Tahapan managemen Konflik sbb:
1. Tahap primer. Tahap ini merupakan tahap pencegahan terhadap terjadinya konflik keluarga. Upaya-upaya yang dilakukan oleh suami-suami antara lain:
Meningkatkan derajat keharmonisan suami istri sehingga lebih intim
  • Mengerti terhadap pekerjaan pasangan masing-masing; berusaha membuat suami/istri merasa senang; saling menyatakan perasaan secara terbuka; menghargai pendapat/ide pasangan; menggunakan waktu luang bersama; saling memuaskan dalam kehidupan seksual.
  • Adanya komunikasi yang efektif dan dapat menjadi pendengar yang baim bagi pasangannya.
  • Jika ada masalah, komunikasikan dengan pasangan agar tidak berlarut-larut.
  • Menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran ( rasio ). Tidak berpokir yang aneh-aneh kalau sesuatu hal belum terjadi. Hadapi masalah dengan wajar

2.      Tahap sekunder. Tahap ini sudah terjadi konflik dan bagaimana cara mengatasinya:
Kompromi, musyawarah untuk mencari jalan keluar terbaik. Metode yang dipergunakan “ Win-win solution”, semua menang, tidak ada yang dikalahkan.

Mencari alternatif pemecahan masalah berdasarkan sumber masalahnya apa. Bila tidak dapat melakukan sendiri bisa mencari bantuan pihak ketiga yang kompeten, konsultasi pada psikolog atau konselor perkawinan.
  • Memilih cara yang terbaik ( salah satu )
  • Melaksanakan cara yang sudah dipilih dari kompromi diatas
  • Evaluasi penyeleseaian konflik. Hasilnya bagaimana, lebih harmonis atau tidak

3.      Tahap tersier setelah konflik teratasi

Pasangan berusaha untuk mencegah dampak negatif atau trauma psikologis akibat konflik yang pernah dialami. Berkomunikasi dari hati ke hati, perlunya kesepakatan baru agar tidak terjadi konflik yang sama dimasa yang akan datang

Oleh: Elina Raharisti R, S.Psi, Psikolog

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar